Jumat, 28 Mei 2010

URGENSI FILSAFAT

URGENSI STUDI FILSAFAT DALAM PENGEMBANGAN
PEMIKIRAN ISLAM (TELAAH EPISTEMOLOGI)

Oleh. Moh. Natsir Mahmud
==============================================


I. PENDAHULUAN

Filsafat bertugas memahami realitas untuk memahami esensinya, asasnya yang fundamental atau apa yang menjadi substansi dasar dari segala realitas, segala yang ada. Upaya memahami realitas diperlukan pemikiran yang mendalam, radikal dan sistematik. Di sini diperlukan keinsafan berpikir. Insaf artinmya: teliti dan teratur menurut prosedur yang jelas.
Islam memberikan ruang bagi dinamika pemikiran yang melahirkan pemikiran filosofis. Islam sebagai agama bukan semata fenomena sui-generis yang tidak dapat ditelaah dengan sistem pemikiran dan filosof sepanjang sejarahnya. Tugas kita sekarang adalah memelihara dan menelaah pemikiran-pemikiran filosofis para filosof muslim masa lalu. Tetapi dalam telaah pemikiran tersebut bukan hanya dalam hal konsep-konsep substansialnya saja, tetapi yang lebih penting adalah tata-pikir yang digunakan dalam melahirkan konsep itu. Dengan hanya mewarisi konsep-konsep kefilsafatan itu kita memang menjadi kagum dan bangga, tetapi kita tidak bisa bersikap kritis untuk melakukan rekonstruksi pemikiran yang dibutuhkan untuk saman sekarang. Inilah masalah yang kami pandang mendesak untuk direnungi oleh generasi muslim dewasa ini.


II. TINJAUAN SINGKAT PEMIKIRAN FILSAFAT DALAM ISLAM


Islam adalah agama yang mewajibkan penganutnya menuntut ilmu pengetahuan. Al-Qur'an merangsang manusia agar memanfaatkan segala instrumen pengetahuannya untuk memahami realitas. Al-Qur'an memerintahkan pancaindera (sensual) melalui pengamatan empiris (observasi dan eksprerimen) (Q.S.7: 179, 32:28, 10:68, 30:23 dsb.). Al-Qur'an juga memerintahkan menggunakan akal dengan telaah rasional terhadap fenomena alam (Q.S. 3:190-192 dsb.); disamping itu juga memerintahkan menggunakan intuisi batin (Q.S. 7:171, 22:46). Jadi, Islam mengakui realitas empirik, rasional dan supra-rasional, tidak mengenal yang irrasional.
Perintah-perintah al-Qur'an tersebut di atas menanda-kan bahwa dalam tubuh Islam sendiri dapat menjadi sumber lahirnya pemikiran filosofis untuk memahami esensi, memahami maksud ciptaan Allah di alam semesta dan memahami maksud Allah dalam al-Qur'an. Umar bin Khattab seorang pemikir dan khalifah kedua melahirkan pemikiran-pemirkan sebagai hasil telaah terhadap realitas sosial dan berupaya menangkap maksud Tuhan dalam al-Qur'an. Beliau menolorkan tidak kurang dari 70 buah pikiran hasil ijtihadnya yang sudah berbeda jauh dari pemahaman masyarakat Islam sebelum-nya. Banyak pemikir muslim pertama yang mampu menelorkan pemikiran-pemikiran berani.
Filsafat Islam berkembang pesat ketika wilayah Islam meluas sehingga bersentuhan dengan budaya Persia, India, Mesir, Yunani dsb. Budaya tersebut merangsang lahirnya filsafat dalam Islam yang diwakili oleh al-Kindi, al-Farabi, Ibnu Sina, al-Ghazali dan Ibnu Rusyd. Kecuali al-Ghazali, corak pemikiran mereka bersifat sinkritisme-kreatif antara filsafat Yunani dan ajaran Islam. Filsafat tersebut banyak tertarik pada soal kosmologi, asal usul alam semesta. Sayang sekali, pemikiran mereka sangat rasionalis-tik, lebih menonjolkan telaah rasional dengan cara deduktif, baik dalam pemikiran tentang alam semesta, pemaknaan ayat al-Qur'an maupun dalam penghayatan mistik.
Di abad ke-10/11 muncul al-Ghazali mengeritik pemakaian rasio oleh al-Farabi dan Ibnu Sina. Al-Ghazali mengerik habis-habisan kemampuan inderawi (empiri) dan rasio (nalar) sebagai instrumen yang tidak mampu memahami realitas. Al-Ghazali mengandalkan penghayatan intuitif (qalb) sebagai kekuatan satu-satunya yang handal dalam menangkap realitas dan memakrifah Allah. Pandangan al-Ghazali tersebut oleh sementara kalangan sebagai penyebab kematian pemikiran dalam Islam.
Di abad ke-14 muncul Ibnu Khaldum (di Spanyol) mengeritik filosof sebelumnya yang hanya mengandalkan rasio sebagai alat pengetahuan yang absah. Ibnu Khaldum tidak mengandalkan rasionalitas yang deduktif, tetapi cenderung pada pemakaian empiri yang induktif. Ia tidak tertarik pada spekulasi metafisi dalam soal kosmologi penciptaan alam, tetapi lebih tertarik pada realitas sosial dan historis. Dia seorang filosof sejarah dan sosial yang sampai sekarang masih tetap dikaji pemikiran-pemikirannya oleh sarjana Barat. Meskipun teori-teorinya tidak luput dari kritikan karena menganut teori sejarah-siklus, tetapi pemikirannya banyak mempengaruhi pemikir Barat seperti Toynbee. Madjid Fakhri menyebutnya sebagau seorang positivis Islam karena lebih tertarik pada realitas sosial yang empiri sensual. Meskipun dia juga tidak mengabaikan intuisi batin sebagai alat penghayatan mistik. Di sini Ibnu Khaldum kelihatan dualisme dalam teori pengetahuannya.
Di masa kemudian (abad ke-18) metode empiris lebih dikembangkan oleh Ibnu Taimiyah. Menurutnya, realitas yang sesungguhnya adalah realitas yang ditangkap oleh empiri sensual (inderawi), bukan oleh rasio. Muhammad Abduh muncul pada abad ke-19 juga sangat empiri di samping rasional. Ia memadukan empiri dan rasio dalam pemikirannya. Fenomena supernatural seperti malaikat ditafsirkan sebagai wujud yang non-personal tetapi merupakan hukum alam.
Di abad ke-20 muncul Muhammad Iqbal menggabungkan semua tata-pikir sebelumnya. Iqbal menghargai dunia empirik, dunia rasional dan intuisi qalb. Penghayatan intuisi batin sebagai kristalisasi dalam pengamatan empiris dan telaah rasional. Intuisi menangkap realitas secara holistik berdasarkan input empirik sensual dan telaah rasional. Sayang sekali bahwa paradigma Iqbal tersebut tidak diperkokoh dalam suatu bangunan epistemologi filsafat Islam secara utuh. Kami melihat Iqbal sebagai seorang filosif humanis Islam karena sangat mengandalkan kemampuan manusia (muslim) untuk bisa "menyamai" Tuhan dalam porsi yang terbatas sebagaimana dalam teori Insan Kamilnya.


III. PEMIKIRAN ISLAM KONTEMPORER

Dalam pengamatan kami, ada dua tema pemikiran Islam kontemporer yang perlu mendapat perhatian intelektual muslim dewasa ini, yaitu: Masalah esensi Islam dan konstruksi tata-pikir Islam yang kreatif, inovatif dan religius.

1. Masalah esensi Islam

Tema pemikiran Islam kontemporer tidak seperti di era sebelumnya terutama pada era al-Farabi c.s. yang lebih terfokus pada filsafat metafisika dengan spekulasi rasional mengenai penciptaan alam. Tema di masa al-Farabi itu sebagai reaksi-kreatif-sikritik terhadap filsafat Barat (Yunani, yaitu PLato, Aristo dan Neo-Platonis) dengan ajaran Islam.
Kini filsafat Barat pun memberikan tantangan terhadap pemikiran Islam dalam hal bagaimana esensi Islam itu. Barat memberikan kritikan-kritikan, bahwa Islam adalah agama statis karena wahyu al-Qur'an tidak mempunyai hubungan organik dengan sejarah. Wahyu adalah fenomena trans-historis karena diciptakan di luar sejarah.
Sorotan Barat terhadap esensi wahyu (sekaligus juga esensi Islam) dapat dimaklumi karena filsafat epistemologi Barat hanya mengakui realitas empirik sensual, rasional dan historis. Dalam teologi Kristen Barat memandang bahwa esensi agama Kristen bersifat historis. Tuhan sudah "menyejarah" dalam diri Kristus. Demikian pula kitab Bibel bukan sesuatu yang trans-historis. Walaupun Bibel disebu juga firman Tuhan, tetapi dalam waktu yang sama dinyatakan sebagai karya manusia. Artinya, karya manusia diperatasnamakan Tuhan karena roh kudus telah bekerja dalam pikiran pengarangnya yang dengan sendirinya tidak lepas dari latar belakang historis pengarangnya. Karena itu, Wilfred Cantwell Smith menyatakan bahwa Bibel mempunyai hubungan organik dengan sejarah. Atas dasar itu, orang Kristen merasa memiliki agama yang dinamis, dapat mengikuti perubahan dan kemajuan dalam sejarah manusia.
Fazlur Rahman seorang pemikir Islam kontemporer yang menghabiskan usianya di Amerika Serikat cukup merasakan serangan-serangan Barat terhadap Islam berdasarkan pandangan di atas, bahwa karena esensi Islam adalah trans-historis, maka Islam sukar menyesuaikan diri dengan perkembangan. Sebagai respons terhadap kritikan Barat tersebut Rahman mengajukan pandangan bahwa: "Al-Qur'an adalah firman Tuhan tetapi sekaligus juga kata-kata Muhammad". Tesis tersebut cukup kontroversial. Rahman memaksudkan bahwa al-Qur'an sebagai firman Tuhan merupakan esensi, tetapi sifatnya yang berkali empat, tiga atau enam, berwarna putih, biru, terbuat dari kayu atau besi adalah aksidensi. Karena itu, tugas intelektual muslim menurut Rahma adalah menangkap esensi informasi al-Qur'an. Esensi itulah maksud Tuhan yang sebenarnya. Esensi itu mutlak, abadi dan universal. Aksidensi sebagai ekspresi Nabi Muhammad berdasarkan wawasan keakraban dan wawasan historisnya hanya sebagai hal yang sekunder walaupun juga turut membantu memahami maksud Tuhan.
W. Montgomery Watt seorang Islamolog Barat -- sering dipandang sebagai pemberi inspirasi bagi Rahman -- juga mengatakan bahwa al-Qur'an adalah firman Tuhan tetapi diciptkan melalui pribadi Muhammad. Tetapi berbeda dengan Rahman, Watt berpendapat bahwa oleh karena ada keterlibatan pribadi Muhammad dalam keberadaan al-Qur'an berarti ada elemen manusiawi dalam al-Qur'an. Karena itu, terdapat kemungkinan adanya kekeliruan dalam al-Qur'an. Rahman tidak memandang ada kekeliruan itu karena pribadi dan moralitas Nabi Muhammad sudah menyatu dengan jiwa al-Qur'an, al-Qur'an sudah menjadi akhlaknya.
Tesa Rahman tersebut masih dalam posisi sulit, karena orang dapat berbeda melihat nama yang esensial dan mana yang aksidensial dalam al-Qur'an. Orang pun bisa berselisih dalam melihat esensi itu, mungkin yang satu memandang sebagai esensi yang lain tidak. Tesa tersebut mengimplikasikan munculnya pemikiran pluralistik dalam Islam. Tetapi pluralistik yang berakar pada pemaknaan esensial yang beraneka bukan tanpa bahaya, karena pemaknaan esensial itu akan membentuk makna-makna lokal yang dengan sendirinya membentuk opini-lokal. Terbentuknya makna esensial-lokal bila dilihat dari perspektif Samuel P. Huntington nantinya akan berusaha memperkokoh identitasnya. Pada sisi ini kami setuju dengan pendapat Huntington. Ketika suatu kelompok berusaha memperkokoh identitasnya, akan timbul penajaman-penajaman konseptual. Dalam penajaman konseptual akan terjadi idealisasi konseptual. Idealisasi ini akan membentuk ideologi lokal. Ideologi lokal akan mengakibatkan eksklusivisme yang memancing terjadinya komplik.
Apakah Rahman bermaksud demikian? Tentu tidak. Rahman berprinsip bahwa kita tidak akan berselisih dalam menangkap esensi ayat-ayat al-Qur'an bila terlebih dahulu kita menangkap secara global cita moral al-Qur'an itu. Cita moral itu akan menjadi perspektif kita untuk menangkap esensi-esensi setiap ayat al-Qur'an. Berarti Rahman pada hakikatnya mengajui segi keuniversalan Islam.
Tesis lain yang kami pandang lebih tepat dikemukakan oleh Umar al-Biqay, bahwa al-Qur'an bagaikan sebuah intan yang tiap-tiap sudutnya memancarkan cahaya. Seorang dapat menangkap sinar dari satu sudutnya, orang lain di sudut lain. Ini berarti esensi itu satu tetapi segi-segi esensi itu banyak. Kita sama-sama berada di sentral tetapi berbeda pada perifer. Ini berarti Islam menolak pluralisme mutlak yang disuguhkan oleh postmodernisme. Islam tidak sentral dan tidak desentral. Islam adalah sentral-perifer, universal-partikular, absolut-relatif, tekstual-kontekstual dan trans-historis-historis.

2. Membangun Tata-Pikir Islam

Kita telah kemukakan secara umum corak epistemologi filosof muslim abad pertengahan dan modern. Epistemologi al-Farabi bercorak resionalistik, al-Ghazali intuitif, Ibnu Khaldum, Ibnu Taymiyah dan Abduh empirik plus rasionalistik. Muhammad Iqbal berangkat dari empirik ke rasional ke intuitif.
Tugas generasi intelektual muslim dewasa ini adalah membangun tata-pikir Islami yang komprehensip sesuai dengan perkembangan masa dan antisipasi ke depan.
Berikut ini dikemukakan tinjauan ragam tata-pikir tersebut di atas sebagai berikut:

a. Rasionalistik

Epistemologi atau tata-pikir rasionalistik tidak berangkat dari empirik-sensual melainkan dari kemampuan akal-budi membangun abstraksi-abstraksi spekulatif, simplikasi atau idealisasi terhadap fakta. Konseptualisasi-nya masih membuka kemungkinan pilihan lain karena masih bersifat tentatif (sementara) kemudian diuji-maknakan lagi dari berbagai alternatif konseptualisasi lain. Produk ilmu yang dihasilkan akan padat konsep dan teori tetapi sangat miskin terapan. Produk teori banyak tetapi kadang-kadang kita kesulitan menerapkan. Bila diterapkan dalam penalaran Islam, kita akan sukar "membumikan" Islam dalam realitas sosio kultural.

b. Empirik

Tata-pikir empirik bersifat induktif, bertolak dari dunia konkrit untuk membuat generalisasi. Realitas empirik-sensual diamati dan dieksperimen kemudian dicarikan korelasi satu salam lain, dilihat hubungan kausal-linearnya serta hubungan interaktifnya. Karena tata-pikir ini berangkat dari realitas konkrit maka produk ilmu yang dihasilkan akan padat terapan tetapi terjadi pemiskinan teori. Kita lihat terapan tata-pikir ini dalam psikologi. Psikologi mengalami stagnasi karena kekurangan teori. Psikologi terhenti perkembangannya pada teori behabiorisme. Dalam sosiologi, terhenti perkembangannya pada teori sosiologi fungsionalnya Talcott Parsons. Dalam teori ekonomi terhenti pada teori Keynesian. Bila diterapkan pada ilmu agama akan menghasilkan ilmu agama sekular, tidak melihat "jiwa" agama tetapi pada tubuh luarnya karena landasan tata-pikir ini berakar pada empiri-sensual.

c. Intuitif

Metode intuitif sukar diterapkan dalam stusi ilmiah karena kebenarannya sukar dikontrol, sukar dicek di dunia konkrit. Meskipun demikian, cara intuitif digunakan juga oleh Husserl untuk pemaknaan-pemaknaan atas dunia. Fakta-fakta ditangkap secara holistik lalu dimaknai sesuai dengan weltanschauung kita.
Ketiga tata-pikir tersebut di atas mempunyai keistimewaan dan kekurangan masing-masing. Al-Farabi misalnya, meskipun telah berhasil secara rasional menjelaskan teori penciptaan alam, tetapi teorinya sukar diaplikasikan dalam dunia konkrit. Untuk merelevansikan dengan teori-teori modern hanya bisa dilakukan analogi-analogi.
Ibnu Khaldun mengakarkan pemikirannya pada dunia empirik melalui realitas sosial, politik, sejarah dan geografi, kemudian melakukan konseptualisasi teoritik (dengan sendirinya juga rasionalistik).
Muhammad Iqbal berangkat dari empirik ke rasional ke intuitif memperlihatkan suatu tata-pikir yang lebih kompleks. Tetapi Iqbal hanya menggunakan jalur gradual tidak sebaliknya yaitu degradual, yaitu dari intuitif turun ke rasional turun ke empirik. Dalam hemat kami, kedua jalur tersebut dapat digunakan. Bila kita menggunakan jalur pertama; kita melakukan riset dengan observasi dan eksperimen dan teknik-teknik lainnya. Hasilnya dibangun konsep-konsep dan teori-teori dan seterusnya diberi makna-makna religius sehingga dihayati oleh intuisi iman kita. Einstein menggunakan tata-pikir ini. Mulanya dia seorang ilmuan dengan risetnya di bidang Fisika. Ia kemudian menjadi filosof ketika berhasil membangun teori ontologonya bahwa asas segalanya adalah "energi", kemudian masuk ke kawasan religius ketika mengatakan bahwa sumber segala energi adalah sebuah energi yang "dahsyat" yaitu Tuhan. Di sini dia menghayati Tuhan secara intuitif dalam temuan penyelidikannya.
Untuk jalur kedua kita berangkat dari suatu nilai agama yang telah dihayati oleh intuisi iman kita. Melalui nilai agama itu kita bawa ke dalam dunia obyektif, dengan diobyektivikasikan melalui konseptualisasi. Dari konseptualisasi itu kita dapat membangun suatu grand-konsep. Grand-konsep itu kita bawa ke kawasan empirik. Temuan empirik bertujuan memperkokoh grand-konsep (rasionalisasi) dan grand-konsep bertujuan memperkokoh nilai agama itu. Apakah ini berarti normatif? Bisa normatif nila nilai agama secara langsung dijadikan alat koreksi dan justifikasi realitas empirik. Tetapi bila dari nilai agama terlebih dahulu dibangun suatu grand-konsep lalu dimuarakan ke kawasan empirik, maka kita tidak normatif.
Dalam hemat kami, bila kedua jalur itu diterapkan akan memproduksi ilmu-ilmu yang bermuatan nilai Islami.