Jumat, 28 Mei 2010

URGENSI FILSAFAT

URGENSI STUDI FILSAFAT DALAM PENGEMBANGAN
PEMIKIRAN ISLAM (TELAAH EPISTEMOLOGI)

Oleh. Moh. Natsir Mahmud
==============================================


I. PENDAHULUAN

Filsafat bertugas memahami realitas untuk memahami esensinya, asasnya yang fundamental atau apa yang menjadi substansi dasar dari segala realitas, segala yang ada. Upaya memahami realitas diperlukan pemikiran yang mendalam, radikal dan sistematik. Di sini diperlukan keinsafan berpikir. Insaf artinmya: teliti dan teratur menurut prosedur yang jelas.
Islam memberikan ruang bagi dinamika pemikiran yang melahirkan pemikiran filosofis. Islam sebagai agama bukan semata fenomena sui-generis yang tidak dapat ditelaah dengan sistem pemikiran dan filosof sepanjang sejarahnya. Tugas kita sekarang adalah memelihara dan menelaah pemikiran-pemikiran filosofis para filosof muslim masa lalu. Tetapi dalam telaah pemikiran tersebut bukan hanya dalam hal konsep-konsep substansialnya saja, tetapi yang lebih penting adalah tata-pikir yang digunakan dalam melahirkan konsep itu. Dengan hanya mewarisi konsep-konsep kefilsafatan itu kita memang menjadi kagum dan bangga, tetapi kita tidak bisa bersikap kritis untuk melakukan rekonstruksi pemikiran yang dibutuhkan untuk saman sekarang. Inilah masalah yang kami pandang mendesak untuk direnungi oleh generasi muslim dewasa ini.


II. TINJAUAN SINGKAT PEMIKIRAN FILSAFAT DALAM ISLAM


Islam adalah agama yang mewajibkan penganutnya menuntut ilmu pengetahuan. Al-Qur'an merangsang manusia agar memanfaatkan segala instrumen pengetahuannya untuk memahami realitas. Al-Qur'an memerintahkan pancaindera (sensual) melalui pengamatan empiris (observasi dan eksprerimen) (Q.S.7: 179, 32:28, 10:68, 30:23 dsb.). Al-Qur'an juga memerintahkan menggunakan akal dengan telaah rasional terhadap fenomena alam (Q.S. 3:190-192 dsb.); disamping itu juga memerintahkan menggunakan intuisi batin (Q.S. 7:171, 22:46). Jadi, Islam mengakui realitas empirik, rasional dan supra-rasional, tidak mengenal yang irrasional.
Perintah-perintah al-Qur'an tersebut di atas menanda-kan bahwa dalam tubuh Islam sendiri dapat menjadi sumber lahirnya pemikiran filosofis untuk memahami esensi, memahami maksud ciptaan Allah di alam semesta dan memahami maksud Allah dalam al-Qur'an. Umar bin Khattab seorang pemikir dan khalifah kedua melahirkan pemikiran-pemirkan sebagai hasil telaah terhadap realitas sosial dan berupaya menangkap maksud Tuhan dalam al-Qur'an. Beliau menolorkan tidak kurang dari 70 buah pikiran hasil ijtihadnya yang sudah berbeda jauh dari pemahaman masyarakat Islam sebelum-nya. Banyak pemikir muslim pertama yang mampu menelorkan pemikiran-pemikiran berani.
Filsafat Islam berkembang pesat ketika wilayah Islam meluas sehingga bersentuhan dengan budaya Persia, India, Mesir, Yunani dsb. Budaya tersebut merangsang lahirnya filsafat dalam Islam yang diwakili oleh al-Kindi, al-Farabi, Ibnu Sina, al-Ghazali dan Ibnu Rusyd. Kecuali al-Ghazali, corak pemikiran mereka bersifat sinkritisme-kreatif antara filsafat Yunani dan ajaran Islam. Filsafat tersebut banyak tertarik pada soal kosmologi, asal usul alam semesta. Sayang sekali, pemikiran mereka sangat rasionalis-tik, lebih menonjolkan telaah rasional dengan cara deduktif, baik dalam pemikiran tentang alam semesta, pemaknaan ayat al-Qur'an maupun dalam penghayatan mistik.
Di abad ke-10/11 muncul al-Ghazali mengeritik pemakaian rasio oleh al-Farabi dan Ibnu Sina. Al-Ghazali mengerik habis-habisan kemampuan inderawi (empiri) dan rasio (nalar) sebagai instrumen yang tidak mampu memahami realitas. Al-Ghazali mengandalkan penghayatan intuitif (qalb) sebagai kekuatan satu-satunya yang handal dalam menangkap realitas dan memakrifah Allah. Pandangan al-Ghazali tersebut oleh sementara kalangan sebagai penyebab kematian pemikiran dalam Islam.
Di abad ke-14 muncul Ibnu Khaldum (di Spanyol) mengeritik filosof sebelumnya yang hanya mengandalkan rasio sebagai alat pengetahuan yang absah. Ibnu Khaldum tidak mengandalkan rasionalitas yang deduktif, tetapi cenderung pada pemakaian empiri yang induktif. Ia tidak tertarik pada spekulasi metafisi dalam soal kosmologi penciptaan alam, tetapi lebih tertarik pada realitas sosial dan historis. Dia seorang filosof sejarah dan sosial yang sampai sekarang masih tetap dikaji pemikiran-pemikirannya oleh sarjana Barat. Meskipun teori-teorinya tidak luput dari kritikan karena menganut teori sejarah-siklus, tetapi pemikirannya banyak mempengaruhi pemikir Barat seperti Toynbee. Madjid Fakhri menyebutnya sebagau seorang positivis Islam karena lebih tertarik pada realitas sosial yang empiri sensual. Meskipun dia juga tidak mengabaikan intuisi batin sebagai alat penghayatan mistik. Di sini Ibnu Khaldum kelihatan dualisme dalam teori pengetahuannya.
Di masa kemudian (abad ke-18) metode empiris lebih dikembangkan oleh Ibnu Taimiyah. Menurutnya, realitas yang sesungguhnya adalah realitas yang ditangkap oleh empiri sensual (inderawi), bukan oleh rasio. Muhammad Abduh muncul pada abad ke-19 juga sangat empiri di samping rasional. Ia memadukan empiri dan rasio dalam pemikirannya. Fenomena supernatural seperti malaikat ditafsirkan sebagai wujud yang non-personal tetapi merupakan hukum alam.
Di abad ke-20 muncul Muhammad Iqbal menggabungkan semua tata-pikir sebelumnya. Iqbal menghargai dunia empirik, dunia rasional dan intuisi qalb. Penghayatan intuisi batin sebagai kristalisasi dalam pengamatan empiris dan telaah rasional. Intuisi menangkap realitas secara holistik berdasarkan input empirik sensual dan telaah rasional. Sayang sekali bahwa paradigma Iqbal tersebut tidak diperkokoh dalam suatu bangunan epistemologi filsafat Islam secara utuh. Kami melihat Iqbal sebagai seorang filosif humanis Islam karena sangat mengandalkan kemampuan manusia (muslim) untuk bisa "menyamai" Tuhan dalam porsi yang terbatas sebagaimana dalam teori Insan Kamilnya.


III. PEMIKIRAN ISLAM KONTEMPORER

Dalam pengamatan kami, ada dua tema pemikiran Islam kontemporer yang perlu mendapat perhatian intelektual muslim dewasa ini, yaitu: Masalah esensi Islam dan konstruksi tata-pikir Islam yang kreatif, inovatif dan religius.

1. Masalah esensi Islam

Tema pemikiran Islam kontemporer tidak seperti di era sebelumnya terutama pada era al-Farabi c.s. yang lebih terfokus pada filsafat metafisika dengan spekulasi rasional mengenai penciptaan alam. Tema di masa al-Farabi itu sebagai reaksi-kreatif-sikritik terhadap filsafat Barat (Yunani, yaitu PLato, Aristo dan Neo-Platonis) dengan ajaran Islam.
Kini filsafat Barat pun memberikan tantangan terhadap pemikiran Islam dalam hal bagaimana esensi Islam itu. Barat memberikan kritikan-kritikan, bahwa Islam adalah agama statis karena wahyu al-Qur'an tidak mempunyai hubungan organik dengan sejarah. Wahyu adalah fenomena trans-historis karena diciptakan di luar sejarah.
Sorotan Barat terhadap esensi wahyu (sekaligus juga esensi Islam) dapat dimaklumi karena filsafat epistemologi Barat hanya mengakui realitas empirik sensual, rasional dan historis. Dalam teologi Kristen Barat memandang bahwa esensi agama Kristen bersifat historis. Tuhan sudah "menyejarah" dalam diri Kristus. Demikian pula kitab Bibel bukan sesuatu yang trans-historis. Walaupun Bibel disebu juga firman Tuhan, tetapi dalam waktu yang sama dinyatakan sebagai karya manusia. Artinya, karya manusia diperatasnamakan Tuhan karena roh kudus telah bekerja dalam pikiran pengarangnya yang dengan sendirinya tidak lepas dari latar belakang historis pengarangnya. Karena itu, Wilfred Cantwell Smith menyatakan bahwa Bibel mempunyai hubungan organik dengan sejarah. Atas dasar itu, orang Kristen merasa memiliki agama yang dinamis, dapat mengikuti perubahan dan kemajuan dalam sejarah manusia.
Fazlur Rahman seorang pemikir Islam kontemporer yang menghabiskan usianya di Amerika Serikat cukup merasakan serangan-serangan Barat terhadap Islam berdasarkan pandangan di atas, bahwa karena esensi Islam adalah trans-historis, maka Islam sukar menyesuaikan diri dengan perkembangan. Sebagai respons terhadap kritikan Barat tersebut Rahman mengajukan pandangan bahwa: "Al-Qur'an adalah firman Tuhan tetapi sekaligus juga kata-kata Muhammad". Tesis tersebut cukup kontroversial. Rahman memaksudkan bahwa al-Qur'an sebagai firman Tuhan merupakan esensi, tetapi sifatnya yang berkali empat, tiga atau enam, berwarna putih, biru, terbuat dari kayu atau besi adalah aksidensi. Karena itu, tugas intelektual muslim menurut Rahma adalah menangkap esensi informasi al-Qur'an. Esensi itulah maksud Tuhan yang sebenarnya. Esensi itu mutlak, abadi dan universal. Aksidensi sebagai ekspresi Nabi Muhammad berdasarkan wawasan keakraban dan wawasan historisnya hanya sebagai hal yang sekunder walaupun juga turut membantu memahami maksud Tuhan.
W. Montgomery Watt seorang Islamolog Barat -- sering dipandang sebagai pemberi inspirasi bagi Rahman -- juga mengatakan bahwa al-Qur'an adalah firman Tuhan tetapi diciptkan melalui pribadi Muhammad. Tetapi berbeda dengan Rahman, Watt berpendapat bahwa oleh karena ada keterlibatan pribadi Muhammad dalam keberadaan al-Qur'an berarti ada elemen manusiawi dalam al-Qur'an. Karena itu, terdapat kemungkinan adanya kekeliruan dalam al-Qur'an. Rahman tidak memandang ada kekeliruan itu karena pribadi dan moralitas Nabi Muhammad sudah menyatu dengan jiwa al-Qur'an, al-Qur'an sudah menjadi akhlaknya.
Tesa Rahman tersebut masih dalam posisi sulit, karena orang dapat berbeda melihat nama yang esensial dan mana yang aksidensial dalam al-Qur'an. Orang pun bisa berselisih dalam melihat esensi itu, mungkin yang satu memandang sebagai esensi yang lain tidak. Tesa tersebut mengimplikasikan munculnya pemikiran pluralistik dalam Islam. Tetapi pluralistik yang berakar pada pemaknaan esensial yang beraneka bukan tanpa bahaya, karena pemaknaan esensial itu akan membentuk makna-makna lokal yang dengan sendirinya membentuk opini-lokal. Terbentuknya makna esensial-lokal bila dilihat dari perspektif Samuel P. Huntington nantinya akan berusaha memperkokoh identitasnya. Pada sisi ini kami setuju dengan pendapat Huntington. Ketika suatu kelompok berusaha memperkokoh identitasnya, akan timbul penajaman-penajaman konseptual. Dalam penajaman konseptual akan terjadi idealisasi konseptual. Idealisasi ini akan membentuk ideologi lokal. Ideologi lokal akan mengakibatkan eksklusivisme yang memancing terjadinya komplik.
Apakah Rahman bermaksud demikian? Tentu tidak. Rahman berprinsip bahwa kita tidak akan berselisih dalam menangkap esensi ayat-ayat al-Qur'an bila terlebih dahulu kita menangkap secara global cita moral al-Qur'an itu. Cita moral itu akan menjadi perspektif kita untuk menangkap esensi-esensi setiap ayat al-Qur'an. Berarti Rahman pada hakikatnya mengajui segi keuniversalan Islam.
Tesis lain yang kami pandang lebih tepat dikemukakan oleh Umar al-Biqay, bahwa al-Qur'an bagaikan sebuah intan yang tiap-tiap sudutnya memancarkan cahaya. Seorang dapat menangkap sinar dari satu sudutnya, orang lain di sudut lain. Ini berarti esensi itu satu tetapi segi-segi esensi itu banyak. Kita sama-sama berada di sentral tetapi berbeda pada perifer. Ini berarti Islam menolak pluralisme mutlak yang disuguhkan oleh postmodernisme. Islam tidak sentral dan tidak desentral. Islam adalah sentral-perifer, universal-partikular, absolut-relatif, tekstual-kontekstual dan trans-historis-historis.

2. Membangun Tata-Pikir Islam

Kita telah kemukakan secara umum corak epistemologi filosof muslim abad pertengahan dan modern. Epistemologi al-Farabi bercorak resionalistik, al-Ghazali intuitif, Ibnu Khaldum, Ibnu Taymiyah dan Abduh empirik plus rasionalistik. Muhammad Iqbal berangkat dari empirik ke rasional ke intuitif.
Tugas generasi intelektual muslim dewasa ini adalah membangun tata-pikir Islami yang komprehensip sesuai dengan perkembangan masa dan antisipasi ke depan.
Berikut ini dikemukakan tinjauan ragam tata-pikir tersebut di atas sebagai berikut:

a. Rasionalistik

Epistemologi atau tata-pikir rasionalistik tidak berangkat dari empirik-sensual melainkan dari kemampuan akal-budi membangun abstraksi-abstraksi spekulatif, simplikasi atau idealisasi terhadap fakta. Konseptualisasi-nya masih membuka kemungkinan pilihan lain karena masih bersifat tentatif (sementara) kemudian diuji-maknakan lagi dari berbagai alternatif konseptualisasi lain. Produk ilmu yang dihasilkan akan padat konsep dan teori tetapi sangat miskin terapan. Produk teori banyak tetapi kadang-kadang kita kesulitan menerapkan. Bila diterapkan dalam penalaran Islam, kita akan sukar "membumikan" Islam dalam realitas sosio kultural.

b. Empirik

Tata-pikir empirik bersifat induktif, bertolak dari dunia konkrit untuk membuat generalisasi. Realitas empirik-sensual diamati dan dieksperimen kemudian dicarikan korelasi satu salam lain, dilihat hubungan kausal-linearnya serta hubungan interaktifnya. Karena tata-pikir ini berangkat dari realitas konkrit maka produk ilmu yang dihasilkan akan padat terapan tetapi terjadi pemiskinan teori. Kita lihat terapan tata-pikir ini dalam psikologi. Psikologi mengalami stagnasi karena kekurangan teori. Psikologi terhenti perkembangannya pada teori behabiorisme. Dalam sosiologi, terhenti perkembangannya pada teori sosiologi fungsionalnya Talcott Parsons. Dalam teori ekonomi terhenti pada teori Keynesian. Bila diterapkan pada ilmu agama akan menghasilkan ilmu agama sekular, tidak melihat "jiwa" agama tetapi pada tubuh luarnya karena landasan tata-pikir ini berakar pada empiri-sensual.

c. Intuitif

Metode intuitif sukar diterapkan dalam stusi ilmiah karena kebenarannya sukar dikontrol, sukar dicek di dunia konkrit. Meskipun demikian, cara intuitif digunakan juga oleh Husserl untuk pemaknaan-pemaknaan atas dunia. Fakta-fakta ditangkap secara holistik lalu dimaknai sesuai dengan weltanschauung kita.
Ketiga tata-pikir tersebut di atas mempunyai keistimewaan dan kekurangan masing-masing. Al-Farabi misalnya, meskipun telah berhasil secara rasional menjelaskan teori penciptaan alam, tetapi teorinya sukar diaplikasikan dalam dunia konkrit. Untuk merelevansikan dengan teori-teori modern hanya bisa dilakukan analogi-analogi.
Ibnu Khaldun mengakarkan pemikirannya pada dunia empirik melalui realitas sosial, politik, sejarah dan geografi, kemudian melakukan konseptualisasi teoritik (dengan sendirinya juga rasionalistik).
Muhammad Iqbal berangkat dari empirik ke rasional ke intuitif memperlihatkan suatu tata-pikir yang lebih kompleks. Tetapi Iqbal hanya menggunakan jalur gradual tidak sebaliknya yaitu degradual, yaitu dari intuitif turun ke rasional turun ke empirik. Dalam hemat kami, kedua jalur tersebut dapat digunakan. Bila kita menggunakan jalur pertama; kita melakukan riset dengan observasi dan eksperimen dan teknik-teknik lainnya. Hasilnya dibangun konsep-konsep dan teori-teori dan seterusnya diberi makna-makna religius sehingga dihayati oleh intuisi iman kita. Einstein menggunakan tata-pikir ini. Mulanya dia seorang ilmuan dengan risetnya di bidang Fisika. Ia kemudian menjadi filosof ketika berhasil membangun teori ontologonya bahwa asas segalanya adalah "energi", kemudian masuk ke kawasan religius ketika mengatakan bahwa sumber segala energi adalah sebuah energi yang "dahsyat" yaitu Tuhan. Di sini dia menghayati Tuhan secara intuitif dalam temuan penyelidikannya.
Untuk jalur kedua kita berangkat dari suatu nilai agama yang telah dihayati oleh intuisi iman kita. Melalui nilai agama itu kita bawa ke dalam dunia obyektif, dengan diobyektivikasikan melalui konseptualisasi. Dari konseptualisasi itu kita dapat membangun suatu grand-konsep. Grand-konsep itu kita bawa ke kawasan empirik. Temuan empirik bertujuan memperkokoh grand-konsep (rasionalisasi) dan grand-konsep bertujuan memperkokoh nilai agama itu. Apakah ini berarti normatif? Bisa normatif nila nilai agama secara langsung dijadikan alat koreksi dan justifikasi realitas empirik. Tetapi bila dari nilai agama terlebih dahulu dibangun suatu grand-konsep lalu dimuarakan ke kawasan empirik, maka kita tidak normatif.
Dalam hemat kami, bila kedua jalur itu diterapkan akan memproduksi ilmu-ilmu yang bermuatan nilai Islami.

Jumat, 30 April 2010

MODERNISME DAN POSMODERNISME


B. MODERNISME DAN PASCA MODERNISME
Telaah Epistemologis


1.Pendahuluan


Istilah post-modernisme (untuk selanjutnya ditulis posmodernisme) secara harfiah berarti sesudah modernisme atau disebut pula dengan pasca-modernisme. Istilah ini sudah demikian populer dalam dunia perguruan tinggi di Indonesia selama lima tahun terakhir. Di Barat, istilah tersebut mulai muncul di tahun 1932, tetapi baru populer di sekitar pertengahan tahun 1980an, ketika muncul karya Jean Francois Lyotard (seorang pemikir berkebangsaan prancis) yang berjudul Post-Modern Condition: A Report on Knowledge (1984). Karya tersebut merupakan laporan untuk Dewan Universitas Quebec di Kanada yang berisi tentang perubahan-perubahan di bidang ilmu pengetahuan dalam masyarakat industri maju akibat pengaruh teknologi baru. Walaupun Lyotard merupakan tokoh kunci Posmodernisme, banyak lagi pemikir yang melontarkan teori-teori yang mendukung gagasan posmodernisme seperti: Teori Dekonstruksi dari Jacques Derrida dan Michel Foucault, teori Hermeneutika dari Gadamer dan Paul Ricour dan teori Kritik Sosial aliran Frankfurt Jerman
Istilah posmodernisme semakin populer ketika muncul ulasan-ulasan terhadap pemikiran tokoh-tokoh tersebut di atas dalam bentuk artikel ilmiah yang diimuat dalam berbagai jurnal, misalnya: Tulisan Frederic Jameson dalam artikelnya yang berjudul “Post-Modernism or the Cultural Logig of the Late Capitalism” (1984), Philip Cooke dalam artikelnya: “Modernity and Postmodernity and the City” (1988) dan banyak lagi tulisan lainnya.
Posmodernisme kini nampak bukan saja merupakan trend tetapi sudah cenderung akan menjadi suatu weltanschauung. Posmodernisme tampil sebagai reaksi balik terhadap modernisme yang sudah berjaya selama kl.3 abad, ia muncul memberikan kritikan yang cukup solid terhadap akar-akar modernisme. Gejala tampilan posmodernisme tidak hanya dalam realitas sosial-budaya tetapi juga dalam pemikiran filosofis, epistemologis sampai kepada pemikiran keagamaan.
Untuk mengetahui keberadaan posmodernisme, terlebih dahulu dijelaskan ciri modernisme dan kritikan posmodernisme terhadapnya, kemudian ditinjau dari segi ajaran Islam dan implikasi kependidikan Islam.


Untuk melengkapi pemahaman terhadap posmodernisme, maka terlebih dahulu dikemukakan ciri modernisme. Sebagaimana dikemukakan di atas bahwa posmodernisme merupakan reaksi atau sebagai kritik terhadap modernisme. Kritik terhadap modernisme sebelumnya sudah pernah dilontarkan oleh Aliran Kritik Sosial Frankfurt yang dimotori oleh Max Horkheimer, Odorno sampai pada generasi Jurgen Hubermans. Mazhab Frankfurt mengeritik modernisme terutama pada segi epistemologis. Posmodernisme mengeritik modernisme lebih komprehensif, dari segi ontologis, epistemologis dan aksiologis. Karena itu, untuk mengidentifikasi karakteristik posmodernisme, terlebih dahulu dikemukakan karakteristik modernisme.
Ada beberapa ciri modernisme yang menyolok, yaitu
1. Pendewaan Terhadap Rasio. Di awal munculnya modernisme(abad ke-18), rasio (akal) dipandang sebagai satu-satunya kekuatan yang mampu membimbing manusia menuju kebahagiaan hidup. Di awal munculnya modernisme itu bahwa agama meskipun penting tetapi agama dipandang tidak lagi terdapat dalam dogma melalui wahyu. Agama sudah harus ditegakkan di atas prinsip rasio. Pengganti agama wahyu (openarungreligie) adalah agama alam (natuurreligie) yang ditegakkan di atas prinsip rasio. Bukan lagi rahmat dari Tuhan yang penting tetapi kemampuan akal sebagai “pembebas” jiwa yang penting. Bukan dosa asal (erfzonde, menurut keyakinan Kristen) yang memenjarakan manusia tetapi kebodohanlah sebagai pangkal kesengsaraan.[1] Kehidupan yang ditegakkan atas prinsip serba rasional itu memunculkan harapan baru ketika itu, bahwa modernisme kelak akan menjadi “surga” bagi manusia. Rasio pertama kali memberantas pandangan-pandangan mitologis dan paham-paham irrasional sampai pada mengecilkan peranan agama dan aplikasi nilai-nilai agama dalam kehidupan manusia. Di Barat misalnya, muncul paham agnotisme (yakni, dikatakan beragama, tidak; tidak dikatakan tidak beragama pun tidak), bahkan sampai pada paham ateisme. Kepercayaan yang tinggi akan kemampuan rasio kemudian ditunjang oleh pengamatan empiris (dengan metode observasi dan eksperimen) lebih memperkokoh kedaulatan rasio-empiri dalam memahami realitas. Kedua instrumen pengetahuan tersebut menghidupsuburkan sains dan teknologi.
2. Kebenaran Tunggal. Sikap mendewakan rasio dan menempatkan sebagai sumber pengetahuan tertinggi,[2] sehingga rasio dipandang mampu menciptakan kebenaran universal. Di era modernisme kebenaran produk rasio dan empiri sebagai kebenaran tunggal. Kebenaran tunggal lalu diklaim oleh Barat sebagai pemilik kebenaran tunggal itu. Di luar ilmu Barat tidak ada yang absah dan di luar peradaban Barat tergolong peradaban inferior (rendah). Akibatnya ilmu dan peradaban Barat diupayakan untuk diberlakukan secara universal, akibatnya terjadi imperialisme epistemologis, imperialisme politik, ekonomi, pemanfaatan sumber daya alam dan kriteria hak asasi manusia menurut pandangan Barat.
3. Ilmu pengetahuan dan teknologi. Ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai prestasi gemilang modernisme berhasil membawa kemajuan bangsa-bangsa di dunia. Ilmu pengetahuan berupaya memperkokoh dirinya dengan kemampuan internalnya memisahkan diri dari doktrin-doktrin agama. Dengan metode induktif mengamati alam yang bersifat mekanis dan matematis, pencarian hukum sebab akibat yang mengatur alam semesta melahirkan paham naturalisme. Naturalisme melihat alam ini sebagai sebuah mesin raksasa dengan mekanisme kerja secara kausalitas, menyebabkan sebagian ilmuan tidak lagi melihat alam ini sebagai ciptaan Tuhan melainkan adalah produk alam itu sendiri.[3] Memandang keindahan alam bukan lagi merasakan kebesaran Tuhan melainkan kekaguman pada alam itu sendiri. Alam menyimpan berbagai rahasia yang berguna bagi manusia, maka alam pun dieksploitasi yang pada akhirnya merusak ekosistem yang membawa malapetaka bagi manusia sendiri.
4. Antroposentrisme. Kemampuan manusia yang demikian tinggi di era modern dibanding era sebelumnya, maka manusia lalu “membesarkan” diri menjadikan dirinya sebagai sentrum alam semesta dan ukuran bagi segala sesuatu. Manusia tidak lagi menghiraukan nilai-nilai dari “luar” dirinya, yakni nilai transenden dari Tuhan, karena memandang dirinya menjadi ukuran (norma) bagi segalanya.[4]
Ketiga karakteristik tersebut di atas tentu saja terjadi dalam masyarakat Barat. Namun dalam perkembangan globalisasi di segala bidang, dikhawatirkan pandangan semacam itu merasuk ke dalam masyarakat Indonesia

2. Modernisme : Pembebasan dari Mitologi ke Penjara
Struktur

Ketika modernisme muncul di abad ke-16, manusia menggantungkan harapan bahwa modernisme ini kelak akan menjadi "surga" bagi manusia. Betapa tidak, karena di era modern di mana rasio dan empiri memegang kedaulatan dalam dinamika hidup manusia telah berhasil menumpas mitologi-mitologi. Tidak hanya itu, modernisme telah meruntuhkan otoritas gereja dan segala kedaulatan yang bersumber dari luar diri manusia. Modernisme memunculkan apa yang disebut humanisme yang mengakui manusia dengan segala kemampuannya merupakan sumber kekuatan yang melebihi kekuatan-kekuatan lainnya, sehingga menyisihkan peranan dan kedaulatan Tuhan. Agama, kemudian disub-ordinasikan karena dipandang melemah-kan kreativitas dan otoritas manusia sebagai pusat alam semesta.
Meskipun tidak semua corak humanisme mengarah ke ateisme, tetapi secara prinsipil, humanisme sebagai anak kandung modernisme menempatkan kedaulatan manusia dalam taraf yang tinggi. Rasio merupakan kekuatan tertinggi manusia. Rasio didewakan karena telah berhasil dengan gemilang menumpas mitologi-mitologi yang dianggap telah lama merampas kebebasan dan kreativitas manusia sebelumnya. Di atas reruntuhan mitologi dan segala yang dipandang dogma, dibangun ilmu pengetahuan positivistik. Ilmu yang bercorak positivistik itu lebih mempertegas kekerasannya (menjadi apa yang disebut rigorous sciences) dengan membuang segala pertimbangan nilai. Nilai-nilai diekslusifkan karena dipandang tidak relevan dengan ilmu. Ilmu dalam pandangan ini bersifat netral (value-free).
Rasio diangkat lagi pada taraf yang lebih tinggi karena dipandang mampu memproduksi ilmu-ilmu obyektif. Telaah rasional atas kerja sama dengan empiri dilakukan studi induktif kemudian membentuk generalisasi. Generalisasi menghasilkan ilmu-ilmu nomothetik yang mengandung kebenaran tunggal, kebenaran universal.[5]
Prestasi selanjutnya apa yang dicapai di era modernisme adalah munculnya strukturalisme yang dimotori oleh beberapa tokoh, misalnya oleh: Ferdinand de Saussare (1857-1913), Jean Piaget (1896-1980), Claude Levi-Strauss (lahir 1908), Noam Chomsky (lahir 1928). Di bidang sosiologi muncul: Robert Merton, Talcott Parsons dan sebagainya.
Strukturalisme sebagai anak kandung berikutnya dari modernisme memandang bahwa alam dan kehidupan sosial adalah merupakan sebuah struktur. Struktur adalah sebuah sistem transformasi-transformasi yang bercirikan keseluruhan atau totalitas. Keseluruhan itu dikuasai oleh hukum atau rule of composition yang tertentu dan mempertahankan atau malahan memperkaya dirinya sendiri karena cara yang dijalankan oleh transformasi itu tidak mendobrak batas-batas sistem itu, pun juga tidak memasukkan ke dalamnya unsur-unsur dari luar.[6]
Dengan demikian, strukturalisme juga memandang kebenaran itu tunggal yang diproduksi dari suatu mekanisme struktur. Sebuah struktur adalah sebuah bagan logis, rasional[7] sehingga tidak dapat melihatkan intuisi ke dalamnya. Sifat kemenyeluruhan (wholeness), transformasi dan pengaturan diri (self-regulation), dimana manusia sebagai salah satu elemennya, maka manusia tidak lagi mempunyai pilihan lain selain tunduk kepada hukum keseluruhan struktur itu.[8]
Struktur dalam hal ini menjerat kebebasan manusia. Menurut Michel Foucault, manusia kini telah mati. Manusia mengira dia merupakan "aku", suatu pribadi. Tetapi sebenarnya dia merupakan sekedar titik bahul hubungan-hubungan; yaitu salah satu titik dalam satu kerangka struktur. Strukturalisme memandang bahwa struktur seluruh hubungan-hubungan itulah yang penting, bukan manusianya.[9] Kalau Nietzsche meneriakkan bahwa "Tuhan telah mati" dalam paham humanisme-eksistensialnya, maka Foucault menyuarakan bahwa "kini manusia telah mati" terjerat oleh struktur yang ia ciptakan sendiri.
Dalam strukturalisme, manusia tidak lagi dipandang sebagai pusat masalah, ia tidak lagi bebas memberikan pemaknaan-pemaknaan terhadap dunianya. Ia hanya menerima apa yang disajikan oleh struktur. Dengan demikian, modernisme dengan strukturalisme itu kembali lagi menjerat kebebasan manusia.
Itulah antara lain prestasi yang dicapai oleh manusia di era modernisme. Kini muncul lagi era baru yang memberikan evaluasi kritisnya terhadap modernisme. Era tersebut dinamakan postmodernisme atau disebut juga era potstrukturalisme sebagai anak kandungnya.

3. Posmodernisme : Pembebasan Kedua?

Agak sulit kita identifikasi dari mana dan dari pemikiran siapa yang mendasari kemunculan postmodernisme. Dan juga apakah postmodernisme merupakan perpanjangan dari modernisme atau sebagai reaksi terhadap modernisme?
Kami berasumsi bahwa postmodernisme tidak hanya muncul dari satu aliran atau seorang tokoh tertentu. Postmodernisme dikatakan sebagai perpanjangan dari modernisme karena bibitnya telah ada dalam pase modernisme dan elemennya telah ada pada pemikiran tokoh yang mengklaim diri sebagai tokoh modernisme. Tetapi dapat pul dikatakan bahwa postmodernisme sebagai reaksi terhadap modernisme yang diambil dari segi-segi tertentu beberapa pemikiran modernisme yang diintegrasikan ke dalam satu pola pemikiran yang memiliki karakteristik yang khas berbeda dengan modernisme. Meskipun memang diakui ada pemikiran yang khas bercorak postmodernisme yang tidak terdapat elemennya di era modernisme.
Karl R. Popper seorang tokoh modernisme yang mengakui realitas metafisis sebagai kebenaran obyektif, tunggal dan universal. Tetapi di sisi lain menolak epistemoligi positivistik,[10] sebagai anak kandung modernisme. Husserl seorang tokoh fenomenologi mengklaim diri sebagai modernis dengan metode apochenya (keadaan tidak memihak, netral dalam epistemologinya) tetapi dalam fenomenologi transendentalnya ia meletakkan kerangka ilmu-ilmu subyektif sebagai lawan ilmu obyektif dalam modernisme. Ilmu subyektif Husserl memberikan pamaknaan atas dunia sesuai dengan weltanschauung yang dianut, menghargai "dunia nilai" sebagai elemen integral dalam ilmu. Sikap yang sama dianut oleh Jurgen Habermans yang berusaha mengintegrasikan nilai ke dalam kerangka ilmiah.[11]
Berikut ini dikemukakan beberapa ciri postmodernisme sebagai berikut:

a. Kebenaran pluralistik

Kalau diera modernisme yang dimotori oleh epistemologi positivistik dan strukturalisme memandang kebenaran itu tunggal. Dunia dipersatukan dalam pengambilan keputusan secara generalis yang membentuk generative idea menurut positivisme. Kemudian strukturalisme tampil menyatakan bahwa hukum yang menguasai struktur sebgai keseluruhan atau hukum kesatuan yang konstan san stabil.
Postmodernisme tampil menyatakan bahwa tidak ada sesuatu yang konstan dan stabil, karena stabilitas hanya bermakna statis dan mandeg. Kebenaran terpecah menjadi majemuk karena selalu berada dalam ruang, waktu dan konteks yang berpengaruh terhadap kebenaran itu. Pemikiran yang relevan dalam hal ini adalah fenomenologi transendental dari Husserl yang menyatakan bahwa: To exist does not mean the same thing in every region".[12] (Untuk berada tidak berarti sesuatu itu sama dalam setiap wilayah). "Each region is the object of regional ontology” (Setiap wilayah merupakan obyek ontology regional).[13]
Dengan demikian, kebenaran selalu berada dalam wilayah tertentu. Atau, menurut Lyotard, pengetahuan manusia terlokasikan sehingga tidak tunggal dan tidak universal lagi.[14] Terpecahnya kebenaran dalam kemajemukan bukan saja disebabkan oleh wilayah atau kawasan tetapi juga oleh pecahnya akal dan subyek manusia. Muldoon menjelaskan bahwa: "The postmodern moment has been characterized as a kind of explosion of the modern episteme in which reason and its subject -- as the source of "unity" and of "whole" are blown to pieces".[15] (Gerakan postmodern dicirikan oleh semacam ledakan epistemologi modern dimana akal dan subyeknya sebagai sumber "kesatuan" dan "keseluruhan" terpecah dalam potongan-potongan). Subyek-cogito dalam rasionalisme Descartes yang dipandang sebagai realitas otonom, konstan dan mutlak; dalam pandangan postmodernisme tidak lagi dipandang otonom dan mutlak. Subyek-cogito sudah harus "mencair" dengan realitas dunia di luar dirinya, sehingga ia tiada tanpa dunia dan dunia tiada tanpa ia.
Di era postmodernisme tidak ada lagi konstruksi tetapi dekonstruksi, tidak ada sentral tetapi desentral, terjadi penyebaran-penyebaran. Atau, menurut Lyotard tidak ada homologi (sistem tunggal) tetapi paralogi (sistem plural). "Cerita besar" sebagai grand-narasi yang menjadi meta-narasi mulai pudar digantikan oleh narasi-narasi lokal. Dengan demikian, kebenaran menjadi konsektual, lokal dan historik.

b. Peniadaan yang mutlak

Sebagai kelanjutan dari kebenaran pluralistik adalah peniadaan kebenaran mutlak, karena kebenaran selalu dalam konteks dan konteks selalu berubah. Maka postmodernisme meniadakan kebenaran mutlak. Filsafat GWF Hegel (1770-1831) yang mengakui ada Roh Mutlak yang menjadi sasaran tertinggi dialektika pemikiran manusia ditolak oleh postmodernisme. Bagi postmodernisme tidak ada lagi "payung" mutlak yang menaungi segala realitas. Karena, sesuatu yang mutlak adalah sesuatu yang konstan, tidak berubah dengan perubahan konteks, atau dapat dikatakan bahwa sesuatu yang mutlak adalah sesuatu yang "asli", tidak tercemar oleh konteks. Murphy menjelaskan, bahwa: "... postmodern science cannot generate pristine facts, but only ones that are context-bound".[16] (... ilmu pengetahuan postmodernisme tidak dapat menghasilkan fakta-fakta asli melainkan fakta yang terikat-konteks). Dengan demikian kemutlakan menjadi tiada.
Dalam dunia Islam, kaum muslimin meyakini al-Qur'an bersumber dari Allah. Dari sisi ini al-Qur'an bersifat mutlak (qath'iy al-wurud). Tetapi ketika al-Qur'an dicoba dipahami manusia menjadi relatif (dzanniy al-dilalalah). Terdapat sejumlah ayat yang disepakati kemutlakan kandungannya atau disebut qath'iy al-dilalah, seperti perintah yang tegas hukum wajibnya dan larangan yang tegas keharamannya. Tetapi menurut Harun Nasution jumlah ayat yang mengandung kemutlakan makna ganda (dzanniy al-dilalah) jauh lebih banyak dalam al-Qur'an.[17]
Mohammed Arkoum yang dikenal sebagai postodernis Islam mengatakan bahwa al-Qu'an merupakan sebuah mitos karena memuat makna-makna simbolik, bukan mitos seperti yang lazim dipahami sebagai dongengan. Sebagai sebuah mitos, al-Qur'an tidak hanya memuat satu makna, tetapi beragam makna yang dapat ditarik dari padanya,[18] tentunya juga bersifat kontekstual.
Dalam perspektif postmodernisme, ajaran Islam tidak dipandang mutlak keseluruhan, atau dapat dirumuskan dalam kalimat singkat bahwa: "Islam abstrak itu tunggal, Islam konkrit banyak". Islam konkrit membumi dalam berbagai kawasan, wilayah atau region yang memperlihatkan corak dan versi yang berbeda.

c. Ilmu Tidak Netral

Postmodernisme cenderung pada pandangan bahwa ilmu pengetahuan tidak netral melainkan selalu memihak pada nilai, sarat nilai (value-bound). Pendapat yang relevan dengan hal tersebut adalah pendapat Frankfurt Jurgen Habermasn seorang tokoh kontemporer mazhab Frankfurt Jerman yang dikenal sebagai aliran kritik sosial. Menurut Hubermans, ilmu pengetahuan tidak bebas nilai karena setiap produk ilmu terlebih dahulu ditetapkan secara normatif. Karena itu, ilmu pengetahuan selalu dibungkus oleh kepentingan-kepentingan yang dengan sendirinya tidak netral. Tidak ada fakta yang ditangkap yang benar-benar murni, tetapi selalu dibungkus oleh kepentingan-kepentingan oleh pengamat fakta itu.[19].
Tetapi, masih timbul berbagai keberatan atas pandangan Habermans tersebut bila dilihat pada kenyataan, bahwa hasil temuan ilmiah dapat dimanfaatkan untuk kebaikan atau keburukan (bebas nilai).
Kami cenderung, bahwa ilmu-ilmu alam bebas nilai karena alam adalah benda mati dapat digunakan untuk apa saja, baik atau buruk. Ilmu-ilmu sosial bisa bebas nilai bisa juga terikat nilai tergantung pada metode pendekatannya. Bila kita menggunakan pendekatan positivistik akan menghasilkan ilmu bebas nilai, karena dalam pendekatan ini lebih melihat hubungan kausal suatu fakta kemudian melakukan kuantifikasi-kuantifikasi atas fakta itu. Bila menggunakan pendekatan fenomenologi transendental akan menghasilkan ilmu padat nilai, karena fenomenologi melakukan pemaknaan-pemaknaan atas fakta. Pemaknaan dapat lahr dari weltanschauung, pandangan filosofis atau keagamaan. Adapun ilmu-ilmu humaniora misalnya: sastra, seni, etika, teologi, filsafat agama dan politik secara substansial memang mengandung nilai-nilai tertentu, sehingga tidak netral. Jadi, klaim postmodernisme bahwa ilmu bebas nilai masih menghadapi berbagai keberatan dari berbagai kalangan.

d. Pencarian Makna-makna: Implikasi Spritualisme

Salah satu lagi ciri postmodernisme adalah tidak menjadikan rasio sebagai hakim segalanya. Rasio hanya salah satu tangga kebenaran sesudah empiri. Kebenaran tertinggi ditangkap secara intuitif. Demikian pendapat seorang tokoh postmodernis, Henri Bergson. Intuisi menangkap makna-makna dunia yang tidak ditangkap oleh rasio kuantitatif dan eksak. Intuisi menangkap kaulitas-kualitas hidup. Intuisi memberontak terhadap struktur yang memenjara dan mematikan kehidupan.
Dalam strukturalisme, manusia berpikir, bersikap dan berkelakuan sesuai apa yang didiktekan oleh struktur terhadapnya. Manusia akhirnya hidup dalam kejenuhan. rutinitas yang disajikan oleh struktur menyebabkan manusia menjadi robot hampa, tidak bermakna. Tesis tersebut di atas mengimplikasikan lahirnya kecenderungan spritualisme.
Spritualisme di Barat telah muncul selama berabad-abad, antara lain dari pemikiran Pascal dan Montaigne di abad ke-16/17. Di awal abad ke-20 dikembangkan kembali oleh sejumlah pemikir seperti: Octave Hamelin, Lavelle dan Le Senne dan berbagai tokoh lainnya. Spritualisme mereka ini mengakui realitas benda material tetapi dalam taraf rendah. Roh merupakan tujuan tertinggi. Spritualisme dengan konsep ontologik semacam itu tertekan oleh kemajuan modernisme. Akan tetapi kini muncul lagi kecenderungan spritualisme itu. Dalam tampilannya dalam masyarakat Barat, muncul spritualisme tanpa ikatan agama (spriritualism without organized religion) yang hanya diakarkan pada pandangan filosofis. Jefferson dan Naisbitt Aburdene melihat peranan agama formal akan menurun dan digantikan oleh spritualisme. Dengan demikian akan muncul manusia "tak beragama" tetapi "berkerohanian". Sayyed Hossein Nasr sebaliknya melihat bahwa spritualitas tanpa agama adalah utopis. Ia melihat bahwa sprotualitas yang didominasi oleh agama di masa lalu akan tampil di masa akan datang. Jadi, agama masa akan datang adalah agama masa lalu dan masa kini.[20]
Kecenderungan seperti di atas perlu diantisipasi oleh generasi muslim masa kini. Hal yang perlu adalah menampilkan Islam tidak dalam bentuk apologik atau hanya dalam bentuk formal yang normatif semata, tetapi bagaimana menampilkan Islam sehingga manusia merasakannya sebagai "air sejuk" untuk penyegar di tengah-tengah kekeringan spritual.

4. Pandangan Islam

Berikut ini dikemukakan beberapa pandangan Islam terhadap posmodernisme tersebut di atas, sebagai berikut:
Pertama, Islam setuju dengan posmodernisme yang mengeritik modernisme, karena modernisme terlalu mendewakan rasio. Dalam pandangan Islam, akal merupakan instrumen yang diberikan Allah kepada manusia untuk digunakan dalam kehidupan manusia. Akal adalah salah satu hidayah Allah yang menjadi obor penerang dalam kehidupan manusia (selain hidayah agama). Akal bekerja sama dengan empiri menghasilkan ilmu pengetahuan. Akan tetapi Islam tidak menempatkan akal sebagai satu-satunya sumber kebenaran dan pengetahuan. Islam mengakui intuisi batin (al-qalb) sabagai salah satu fakultas batin manusia yang mampu memahami realitas. Dalam al-Qur’an dijelaskan:


Artinya:
Dan sesungguhnya Kami jadikan (untuk isi neraka jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati (qalb) tetapi tidak digunakan untuk memahami (ayat-ayat Alla) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak digunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak digunakannya untuk mendengat (ayat-ayat Allah). Mereka itu seperti hewan ternak bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai. (al-A’raf 179).

Ayat tersebut menunjukkan bahwa dengan pengatahuan akal semata, manusia belum dapat memahami realitas sepenuhnya, melainkan hanya pada “sisi luar” atau “fakta eksternal” pada realitas itu. Yang mampu memahami “sisi dalam” yakni “sisi spiritual” akan fakta itu adalah intuisi batin (al-qalb). Al-Qalb berperan memaknai produk ilmu yang dihasilkan oleh akal dengan makna-makna keagamaan dan nilai-nilai yang mampu membangun pribadi manusia yang luhur. Dengan prinsip ilmu “bebas nilai” (value free), sehingga ilmu dapat digunakan untuk kebaikan ataupun keburukan ditolak oleh ajaran Islam dan posmodern. Dalam pandangan Islam ilmu itu adalah cahaya (nur) yang bisa memberikan obor penerang kepada manusia untuk kebaikan, bukan sebaliknya pada keburuhkan. Akan tetapi kelemahan posmodern adalah mengecilkan peranan rasio itu. Islam menghendaki keselarasan dalam pemakaian empiri, rasio dan intuisi batin. Ketiganya diintegrasikan untuk mendapatkan ilmu pengetahuan yang padat nilai.
Kedua. Posmodernisme tampil membela agama atas keprihatinannya melihat wacana keagamaan hanya sebagai wacana meta-narasi (cerita abstrak) dan terjebak dalam orthodoksi (mempertahankan tradisi metafisis) dengan menomorduakan orthopraksis.. Posmodern ingin melihat agama benar-benar membumi sehingga diperlukan kerangka berpikir konkrit dalam merefleksikan pemikiran keagamaan. Pandangan ini pun disetujui oleh Islam.
Ketiga. Di era posmodern kecenderungan pada mazhab dan aliran keagamaan mulai merosot. Pemikiran dan penghayatan keagamaan tidak lagi berada di bawah otoritas mazahab dan aliran keagamaan, tetapi mulai menjurus ke pemikiran kreatif individu-individu.[21] Pandangan ini didukung oleh Islam apabila mazhab keagamaan itu menjurus kepada perpecahan umat Islam. Islam menghendaki keutuhan umatnya sebagai kondisi yang wajib dipertahankan demi stabilitas bangsa.
Keempat. Posmodern memutlakkan kebenaran plural yang membawa pada relativisme kebenaran. Islam tidak menerima pandangan tersebut sepenuhnya. Islam mengakui kebenaran tunggal pada nash-nash al-Qur’an yang Qath’iy al-dilalah, dan kebenaran plural pada nash-nash yang dzanniy al dilalah.

5. Implikasi Pendidikan Islam


Munculnya posmodernisme membawa harapan baru sekaligus menjadi tantangan bagi pendidikan Islam. Harapan bagi pendidikan Islam adalah bahwa di era posmodern akan terjadi kesemarakan kehidupan keagamaan. Seorang futurolog posmodern, Pattricia Abundene menyatakan bahwa di abad ke-21 adalah abad agama (the age of religion). Hal tersebut disebabkan karena slogan “surga dunia” yang dijanjikan oleh modernisme dua abad yang lalu ternyata tidak terwujud. Akibat pengaruh kehidupan masa kini yang penuh dengan suasana kesibukan dengan memunculkan situasi kompetitif, pengejaran prestasi secara progresif menyebabkan manusia menjadi letih. Di tengah keletihan manusia itu, ia memerlukan “air sejuk” dari nilai-nilai keagamaan untuk menyiram pikiran dan rohani manusia. Masyarakat sekarang ini memerlukan siraman rohani ditandai dengan partisipasi aktif mereka membangun mesjid-mesjid dalam jumlah yang banyak dengan bangunan yang megah. Mereka mendambakan kedatangan para rohaniwan untuk menyejukkan hati mereka dengan nilai-nilai ajaran agama.
Akan tetapi, meskipun dikatakan bahwa di era posmodern memberi harapan bagi kehidupan keagamaan, akan tetapi era posmodern yang berjalan bersama dengan globalisasi dengan teknologi informasi yang canggih memunculkan perbenturan nilai dalam kehidupan masyarakat. Dalam perbenturan nilai itu, tentu ada nilai yang unggul dan ada nilai yang tersisih. Keungguhlan suatu nilai (nilai agama, budaya dan sebagainya), bukan ditentukan oleh benar salahnya nilai itu, tetapi ditentukan oleh bagaimana menampilkan nilai itu dalam bentuk sajian atraktif yang bisa memukau dan mempengaruhi opini masyarakat. Nilai-nilai yang bermuatan kebenaran (al-haq) tetapi tidak dikemas dengan baik untuk disajikan kepada masyarakat, maka nilai itu akan diketepikan oleh masyarakat. Ini merupakan tantangan bagi pendidikan Islam; bagaimana pendidikan Islam inovatif dalam pemakaian metode dan media yang efektif dan kompetitif.
Oleh karena itu, di era posmodern ini, ada beberapa hal yang perlu dibenahi dalam pendidikan Islam, yakni:
1. Metode penanaman nilai-nilai Islam yang kompetitif dalam berhadapan dengan aktivitas informasi lainnya.
2. Materi pendidikan Islam yang integral yakni padu jasmani-rohani, padu ibadah mu’amalah, padu individu-sosial dan padu teori-praktek (ketrampilan).
Ilmu pendidikan Islam perlu lebih banyak melakukan studi interdisipliner dengan ilmu-ilmu lain untuk menambah wawasan keilmuan pendidikan Islam. Bila Ilmu Pendidikan Islam hanya dibenahi dalam soal teknik operasional, dengan mengabaikan pembenahan teoritik ilmiahnya, maka kegiatan operasional pendidikan Islam akhirnya akan kewalahan karena kehabisan “energi” di tengah jalan akibat kurangnya stok teoritik ilmiah. Pembenahan teoritik ilmiah dengan konstruksi Ilmu Pendidikan Islam yang solid (kokoh) akan berperan sebagai “sumber mata air” yang selalu memberikan energi kreatif dan arahan-arahan teoritis bagi pelaksanaan operasional pendidikan Islam yang sesuai dengan kebutuhan zaman.

V. Penutup

Dari uraian di atas dapat kita menarik kesimpulan bahwa, posmodern muncul memberikan koreksi-koreksi sistematis terhadap era modern. Pandangan dunia (weltanschauung) modernisme yang mendewakan rasio, pengabsahan kebenaran tunggal yang diklaim oleh Barat, kemajuan sains dan teknologi yang kadang-kadang justru menyengsarakan manusia serta pandangan antroposentrisme, kesemuanya mulai dipertanyakan. Kini posmodern menawarkan alternatif lain yang selama ini sering diabaikan oleh manusia, yakni nilai-nilai kehidupan yang tidak sepenuhnya tegak di atas landasan rasio, yakni tradisi sosial, adat istiadat dan nilai-nilai keagamaan. Penghargaan terhadap tradisi sosial, adat istiadat dan keagamaan memberikan harapan bagi pengembangan nilai-nilai yang bisa membangun kemanusiaan manusia yang suci. Akan tetapi, keberadaan posmodernisme masih perlu diwaspadai karena berjalan bersama dengan era globalisasi yang memunculnya perbenturan nilai. Antisipasi pendidikan Islam di tengah perbenturan nilai itu, dilakukan dengan pembenahan-pembenahan dalam berbagai segi, baik pada segi pelaksanaan pendidikan Islam, maupun segi teoritik Ilmu Pendidikan Islam.
Sebagai akhir kata uraian ini adalah bahwa postmodernisme tampil dengan alternatif-alternatif baru. Masalahnya adalah apakah alternatif yang ditawarkan itu dipandang sebagai ratu adil penyelamat dan pembebasan kedua?
Kami melihat suatu gejala, bahwa di tengah-tengah munculnya kecenderungan postmodernisme, tampil lagi "penjara" baru, yaitu penjaran “informasi”. Kini informasi dipandang sebagai kunci sukses. Tetapi dapat diantisipasi bahwa informasi di masa depan dapat lagi menjerat kebebasan manusia. Manusia hanya akan berpikir, bersikap dan berkelakuan berdasarkan tata informasi yang mendiktenya. Karena itu, kaum postmodernis kini perlu mengantisipasi cara menghadapi era informasi di masa depan agar kemanusiaan manusia tidak dirampas oleh arus informasi yang akan semakin deras.




[1] Lihat C. Brinton, The Shaping of the Modern Mind, (New York, 1953), h. 113.
[2]Dalam pandangan Barat, rasio sebagai sumber kebenaran ilmiah. Dan, kebenaran ilmiah dipandang sebagai kebenaran tertinggi. Adapun agama karena tidak tegak atas prinsip rasional, dipandang sebagai kebenaran pra-ilmiah.
[3]Lihat selengkapnya dalam Ronald McKinney, “Toward a Resolution of the Modernist/Postmodernist Debate”, dalam Philosophy Today, Vol. XXX, No. 3/4, 1986, h. 238.
[4]Denny J.A. “Merem Posmodernisme”, dalam Jawa Pos, 29 Oktober 1992, h. 8.
[5] Lihat Ronald H. McKinney, "Toward a Resolution of the Modernist/Postmodernist Debate", dalam Philosophy Today, Vol. xxx, No. 3/4, 1986, h. 238.
[6] Jacques Veuger, Psikologi Perkembangan, Epistemologi Genetik dan Strukturalisme Jean Piaget (Yogyakarta: YSIT, 1983), h. 127.
[7] Alexander Irwan dan Ingris Semaan, "Mempersatukan Struktur", dalam Prisma, No. 1 Januari 1993, h. 61.
[8] Chirtopher Leoyd, Explanation in Social History (Oxford: Basil Blackwell, 1988), h. 238.
[9] Bernard Defgaauw, Filsafat Abad 20, terjemahan Soejono Soemargono (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1988), h. 155.
[10] Lihat Victor Kraft, "Popper and the Vienna Circle", dalam Paul Arthur Schilpp (ed.), The Philosophy of Karl Popper, Book I (La Salle, Illinois: Open Court, 1974), h. 192.
[11] Maurice Natanson, "The Lebenwelt", dalam Erwin W. Straus (ed.), Phenomenology Pure and Applied (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1964), h. 77.
[12] Emmanuel Levinas, The Theory of Intuition in Husserl’s Phenomenology (Northwestern University press, 1973), h. 4.
[13] Ibid.
[14] John W. Murphy, "Cultural Manifestation of Postmodernism", dalam Philosophy Today, Vol. xxx, No. 4/4, 1986, h. 348.
[15] Mark S. Muldoon, "Henri Bergson and Postmodernism", dalam Philosopy Today, Vol. 34, No. 2/4, h. 179.
[16] Murphy, op. cit., h. 349.
[17] Lihat Harun Nasution, "Metode Berpikir Keislaman", dalam Kajian Islam Tentang Berbagai Masalah Kontemporer (Jakarta: Hikmah Syahid Indah, 1988), h. 21-22.
[18] Johan Hendrik Meuleman, "Nalar Islami dan Nalar Modern: Memperkenalkan Pemikiran Mohammad Arkoum", dalam Ulumul Qur'an, No. 4, Vol. IV, 1993, h. 99.
[19] Lihat Frans Magnis-Suseno, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis (Yogyakarta: Kanisius, 1992), h. 200-201
[20] "Tradisionalisme Nasr: Exposisi dan Refleksi" (Wawancara) dalam Ulumul Qur'an, No. 4, Vol. IV, 1993, h. 109.
[21] Ahmad Baharuddin, “Agama Dalam Era Posmodern”, dalam Surya, 5 Maret 1993, h. 6.